Daftar Blog Saya

Selasa, 17 April 2012

KRISIS NILAI TUKAR RUPIAH


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah



Krisis mata uang yang telah mengguncang Negara-negara Asia pada awal tahun 1997, akhirnya menerpa perekonomian Indonesia. Nilai tukar rupiah yang semula dikaitkan dengan dolar AS secara tetap mulai diguncang spekulan yang menyebabkan keguncangan pada perekonomian yang juga sangat tergantung pada pinjaman luar negeri sektor swasta. Pemerintah menghadapi krisis nilai tukar ini dengan melakukan intervensi di pasar untuk menyelamatkan cadangan devisa yang semakin menyusut. Pemerintah menerapkan kebijakan nilai tukar yang mengambang bebas sebagai pengganti kebijakan nilai tukar yang mengambang terkendali. bagaimanakah dampak pola hidup kunsumtif terhadap pendidikan individu dan keluarga ?

B Identifikasi Masalah


 Berdasarkan latar belakang di atas, maka pengidentifikasian masalah yang dapat diambil sebagai berikut :
1.      Apakah dampak dari krisis nilai tukar rupiah terhadap masyarakat Indonesia ?
2.      Bagaimana cara untuk bisa menanggulangi krisis nilai tukar di Indonesia ?

C.  Landasan Teori

 Landasan teori yang digunakan dalam makalah ini menggunakan teori-teori dasar dalam ekonomi. Teori-teori dasar tersebut terbagi menjadi dua golongan yaitu :

  1. Teori Mikroekonomi
Dalam teori mikroekonomi ini menganalisis hal-hal seperti interaksi penjual dan pembeli di pasar barang, tingkah laku pembeli dan penjual dalam melakukan kegiatan ekonomi, dan interaksi penjual dan pembeli di pasaran faktor.
  1. Teori Makroekonomi
Sedangkan dalam teori makroekonomi menganalisis aspek berikut seperti penentuan kegiatan perekonomian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, masalah inflasi dan pengangguran dan faktor yang menyebabkannya, dan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi yang timbul.



BAB II
PEMBAHASAN

Pembahasan sistem nilai tukar sering terjebak pada generalisasi tanpa melihat secara tepat kondisi ekonomi negara bersangkutan. Ada lima preposisi yang sering diungkapkan mengenai sistem nilai tukar.3 Pertama adalah suatu negara hendaknya berupaya meningkatkan fleksibilitas nilai tukar mata uangnya. Pendapat ini banyak disampaikan oleh pengambil kebijaksanaan di negara yang selama periode 1997-1999 berperang melawan spekulan di pasar devisa, seperti Thailand, Korea Selatan, Indonesia, Rusia, dan Brasil. Negara-negara ini menjadi jera mempertahankan nilai tukar mata uangnya pada level tertentu karena besarnya biaya yang telah dikeluarkan dan tanpa hasil yang jelas. Bila nilai tukar mata uang diambang-bebaskan maka tidak perlu mempertahankan nilai tukar pada level tertentu.
Preposisi kedua, kebalikan dari preposisi pertama, yaitu bahwa semua negara sebaiknya mempersiapkan kelembagaan yang menunjang sistem nilai tukar tetap. Preposisi ini timbul dari keberhasilan beberapa negara mengatasi gejolak arus modal, seperti Argentina dan Hong Kong dengan menganut sistem currency board. Selain itu, dimulainya pemberlakuan mata uang Euro pada 1 Januari 1999 untuk sebelas negara yang tergabung dalam Uni Eropa, mendorong diterapkannya dolarisasi, yaitu pemakaian dolar Amerika Serikat sebagai nilai tukar resmi di berbagai negara. Ini merupakan salah satu bentuk sistem monetary union. Sedangkan preposisi ketiga adalah semua negara sebaiknya bergerak menuju ke salah satu kelompok sistem nilai tukar yaitu bebas mengambang atau tetap, sementara pilihan sistem di antara keduanya (intermediate regime) seperti target zone semakin sulit dipertahankan. Preposisi ini juga kurang tepat bila diterapkan secara luas. Preposisi yang keempat yaitu prediksi bahwa dunia akan terbagi ke dalam beberapa blok mata uang kuat, seperti negara-negara Eropa menggunakan Euro dan
negara-negara Amerika memakai dolar Amerika Serikat. Sedangkan preposisi kelima menekankan pada pentingnya menciptakan stabilitas nilai tukar tiga mata uang utama dunia, yaitu antara dolar AS, Euro dan Yen. Dengan stabilnya ketiga mata uang uang dunia tersebut akan memudahkan negara-negara lain yang lebih kecil perekonomiannya menentukan pilihan sistem nilai tukar. Kelima preposisi tersebut diungkapkan tanpa secara cermat mengamati karakteristik berbagai negara dengan sistem nilai tukar yang dianutnya Sebagai contoh ada beberapa karakteristik yang mengindikasikan suatu negara lebih sesuai menggunakan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) daripada sistem nilai tukar bebas (floating exchange rate). Karakteristik yang umum yaitu perekonomian negara tersebut berukuran kecil, terbuka terhadap perdagangan internasional, memiliki mobilitas tenaga kerja yang tinggi, dan adanya korelasi siklus usaha dengan kondisi ekonomi negara yang menjadi patokan nilai tukar. Karakteristik ini pada umumnya dijumpai pada negara-negara yang tergabung kedalam suatu ‘optimum currency area’ (OCA). Negara-negara tersebut lebih mementingkan manfaat dari kestabilan nilai tukar, dan kurang memerlukan independensi moneter. Sebagai contoh adalah Panama yang mematok mata uangnya dengan dolar Amerika Serikat dan Luksemburg dengan Euro.
Kecenderungan untuk menganut sistem nilai tukar tetap juga terdapat pada negara yang kegiatan perdagangan luar negerinya tergantung kepada negara atau wilayah lain yang lebih besar kekuatan ekonominya. Pertimbangan inilah yang mendorong Estonia, Lithuania, dan Bulgaria menganut currency board agar selanjutnya mudah bergabung dengan Uni Eropa sebagai mitra dagang utama. Negara yang menganut nilai tukar tetap pada umumnya juga mempertimbangkan faktor memiliki atau mudah memperoleh dukungan untuk mencapai suatu tingkat cadangan devisa yang memadai. Selain itu juga telah memiliki sistem pengawasan dan pengaturan keuangan yang baik. Jika dua hal ini tidak dipenuhi maka negara tersebut akan mudah mengalami krisis mata uang dan berlanjut dengan krisis perbankan.
Beberapa karakteristik lain yang juga perlu dipertimbangkan bagi negara yang akan menganut salah satu sistem dalam kelompok nilai tukar tetap yaitu adanya penegakan hukum dan fundamental ekonomi yang kuat. Kedua syarat ini terutama diperlukan bagi yang akan menerapkan sistem dewan mata uang (currency board). Negara yang tidak memenuhi karakteristik tersebut tentunya lebih cocok menganut sistem nilai tukar bebas mengambang atau sistem intermediate. Beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan sebelas negara yang tergabung dalam Uni Eropa mendapatkan manfaat yang lebih besar jika menerapkan sistem nilai tukar bebas mengambang. Dengan menganut sistem ini, mereka memiliki independensi kebijakan moneter. Perumusan kebijakan moneternya lebih memperhatikan kepentingan ekonomi dalam negeri daripada kondisi ekonomi negara-negara yang mengacu pada fluktuasi dolar atau menggunakan dolar sebagai mata uang resmi (dolarisasi). Untuk mencegah dampak gejolak keuangan internasional akibat perubahan kebijakan suatu negara besar terhadap mata uangnya di masa mendatang, maka perlu didorong adanya persaingan dolar AS, Euro, dan Yen di pasar uang internasional. Hal ini dimungkinkan apabila ketiganya menganut sistem bebas mengambang.
Sistem intermediate kurang mendapatkan tempat akhir-akhir ini. Adanya pergerakan arus modal yang semakin besar telah mendorong banyak negara beralih menuju kepada ujung kontinum, nilai tukar tetap atau nilai tukar bebas. Gejala ini dapat dijelaskan sebagai konsekuensi dari prinsip ‘impossible trinity’. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat secara simultan mencapai tiga sasaran kebijakan moneter, yaitu stabilitas nilai tukar (exchange rate stability), independensi kebijakan moneter (monetary independence), dan integrasi kepada pasar keuangan dunia (full financial integration). Sasaran pertama dan kedua berpangkal pada pengendalian arus modal (capital control), sasaran kedua dan ketiga berpangkal pada sistem monetary union, serta sasaran ketiga dan pertama berpangkal pada sistem bebas mengambang (pure float).
Meningkatnya mobilitas modal mendorong semua negara menuju kearah integrasi pasar keuangan dunia. Pada akhirnya semua negara tinggal memutuskan tingkat fleksibilitas nilai tukar. Ini tidak menutup kemungkinan suatu negara tetap memilih sistem intermediate, sebab persoalan pemilihan sistem yang dikaitkan dengan upaya mencegah terjadinya krisis nilai tukar harus juga mempertimbangkan kebijakan pengendalian arus modal. Pilihan kebijakan ini juga harus secara cermat dilakukan dengan menghitung kondisi ekonomi suatu negara, tidak digeneralisasi.





Pemecahan Masalah

Krisis nilai tukar telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata. Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untuk mengatasi kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang swasta dengan penjadwalan ulang. Penulis menginterpretasikan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan purchasing power parity yang bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yang bisa menjamin ekonomi nasional beroperasi.
Dengan sistim ini, harga barang-barang produksi dalam negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya sehingga bisa berkembang dan orang tidak mengandalkan bahan impor karena menjadimahal, industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh masyarakat, impor secara otomatis akan berkurang (misalnya buah, jalan-jalan ke luar negeri, berobat di luar negeri, kirim anak sekolah di luar negeri, pola makan makanan yang bahannya gandum), dan meningkatkan ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan juga bisa hidup kembali. Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk ke Indonesia, begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari luar negeri. Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri karena biaya pinjaman yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih tinggi dan karena tidak adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama krisis di masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas bisa dipenuhi.
Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh kekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan nasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent. Bank Dunia menyarankan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah dengan empat kebijakan utama: restrukturisasi beban utang swasta, reformasi dan memperkuatsistim perbankan, memperbaiki “governance”, dan menjaga stabilitas fiskal dan moneter selama masa transisi Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepadapencegahan penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah,pada suatu saat tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam jangka waktu yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable).


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan panjang di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulannya, yakni ;
 Krisis ekonomi biasanya diawali dari pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat, yang bahkan terkadang diiringi dengan euforia. Padahal pertumbuhan tersebut tidak ditopang oleh sektor riil dan makro fundamental. Jarang terjadi sebuah krisis tanpa diawali oleh kondisi finansial yang super-kondusi terlebih dahulu. Ekspektasi alias harapan yang berlebihan akan pendapatan yang besar di masa depan, hanya akan berakhir pada kejatuhan. Ketika bank meminjamkan uang kepara perusahaan kereta api, bank ini berpikir bahwa perusahaan kereta api tersebut akan terus saja mencetak laba setiap tahunnya. Mereka kurang mempertimbangkan resiko-resiko tertentu yang bisa saja meyebabkan perusahaan kereta api tersebut bangkrut. So, be reasonable!
Sejarah membuktikan bahwa utang adalah biang kerok dari krisis. Memang, mengambil utang ke bank ataupun lembaga keuangan lainnya adalah baik, jika diiringi dengan pertimbangan yang matang. Namun diluar itu, maka utang yang anda pegang justru akan menjadi bom waktu.

B.     Saran

Indonesia sebagai negara yang berkembang sangatlah sering terkena dampak dari memburuknya perekonomian negara lain. Dampak dari buruknya perekonomian ditandai dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing dan tingginya tingkat inflasi di Indonesia.  Untuk mengurangi tekanan dari negara lain sebaiknya pemerintah lebih fokus lagi untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bisa menciptakan Usaha Kecil Menegah di Indonesia, karena dapat dirasakan bahwa peranan Usaha Kecil Menengah disaat krisis tahun 2008 cukup memperkuat Indonesia.



REFERENSI :

·         http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/458/jbptunikompp-gdl-efraimfern-22882-13-babv.pdf

3 komentar:

  1. kan blog gw udah ada link2 tsb bro!!!

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. http://www.bareksa.com/id/text/2015/06/01/prediksi-ekonom-singapura-rupiah-bisa-ambruk-ke-25000-ngawur-ini-datanya/10638/news

    BalasHapus